Jl. Kramat Lontar No. J-157. Senen. Jakarta

Kalimat ini pertama sekali dilontarkan oleh Ibu Siti Fadillah Supari (mantan Menteri Kesehatan RI) saat memberikan sambutan pada Muktamar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di Semarang sekitar akhir tahun 2006 yang lalu. Beliau menawarkan visi IDI tersebut agar para dokter Indonesia lebih memiliki kepedulian terhadap nasib bangsa Indonesia. Namun sayang, ide beliau kurang digubris karena proses demokrasi yang ada di arena muktamar tersebut. Saat itu saya merupakan salah seorang peserta muktamar yang berasal dari IDI cabang Medan.

Menurut Kompas.com, lontaran Menteri Kesehatan RI saat peresmian sebuah Rumah Sakit berbasis bisnis di Jakarta, 24 Oktober 2010 yang lalu, tentang ketidakmampuan masyarakat dalam menjaga kesehatan adalah "lontaran yang menggelitik". Ibu Nafsiah Mboy mengaku kasihan dengan Jokowi atas keterbatasan tempat tidur di sejumlah rumah sakit di Jakarta. Bu Menkes menyatakan : "Jangan salahin pak Gubernur kalau ada yang enggak dapat tempat tidur". Pernyataan ini disambut tawa oleh pejabat-pejabat selevel menteri yang hadir di acara tersebut.

Dalam tulisan sebelumnya, pak Omri menyatakan setuju untuk melakukan perubahan atas cara pendidikan dokter di Indonesia, dan beliau mengambil beberapa kondisi tentang situasi dunia kedokteran di beberapa negara maju. Namun dalam menanggapi tulisan saya berikutnya, pak Omri tidak sependapat jika pendidikan dokter harus "spesial" dibandingkan dengan pendidikan sarjana lainnya. Semangat dan kritik pak Omri terhadap perubahan pendidikan kedokteran yang lebih baik perlu diapresiasi secara positif oleh kalangan profesi dokter. Dalam tulisan ini, saya mencoba memberikan pemahaman yang lebih luas tentang mengapa pendidikan kedokteran harus "spesial"?.

Lebih dari 99,99% akan menjawab pertanyaan tersebut dengan : tidak mungkin. Kalaupun ada yang menjawab mungkin, itu hanyalah saya dan segelintir orang yang hampir gila memikirkan masalah mahalnya biaya pendidikan kedokteran yang secara tidak langsung berdampak kepada kualitas moral dan profesionalisme dokter di Indonesia. Dalam beberapa perdebatan dengan para sejawat dokter yang aktif sebagai dosen di fakultas kedokteran, sebagian besar bersikap skeptis. Pertanyaan tersebut bukan hanya tidak layak untuk dijawab, namun tidak layak untuk dipertanyakan.

Tulisan ini merupakan pengembangan dari tulisan saya yang pernah di muat di salah satu media pada 30 Maret 2010, dengan judul Dokter Humanistik vs Materialistik. Alasan mengembangkan tulisan ini adalah adanya rasa optimis yang muncul setelah Undang-undang Pendidikan Kedokteran disahkan. Pasal 4 ayat 1 menyatakan pendidikan kedokteran bertujuan untuk menghasilkan dokter yang berbudi luhur, bermartabat, bermutu, berkompeten, berbudaya menolong, beretika, berdedikasi tinggi, professional, berorientasi pada keselamatan pasien, bertanggung jawab, bermoral, humanistik, sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Tulisan ini mengkritisi pernyataan pak Dahlan Iskan (Menteri Negara BUMN) dalam sambutannya menghadiri satu abad pendidikan kedokteran di Universitas Airlangga, 18 Oktober 2013 yang lalu. Ada 3 issue yang dilontarkan pak DIS, pertama tentang dokter asing, kedua tentang peralatan kesehatan modern, dan ketiga tentang pendidikan kedokteran. Saya akan mencoba membahas tentang salah kaprah pemahaman pak DIS terhadap ketiga issue tersebut.

Page 2 of 2

Image

MER-C adalah organisasi sosial kemanusiaan yang bergerak dalam bidang kegawatdaruratan medis dan mempunyai sifat amanah, profesional, netral, mandiri, sukarela, dan mobilitas tinggi.

Alamat

Jl. Kramat Lontar No. J-157. Senen. Jakarta Pusat - Indonesia.

Telp.

+62 21 315 9235

Email

office@mer-c.org

Useful Links

Berita Terkini