Hujan dan Gaza

Sesuai prediksi, memang hari ini dan prakiraan cuaca 2 hari ke depan akan lebih dingin dari sebelumnya disertai hujan. Kemarin hujan ringan hanya turun menjelang waktu shubuh. Suhu pun menjadi drop di waktu ini. Tapi hari ini, bahkan saat sholat shubuh pun air masih tercurah dari langit. Kami yang biasanya berjamaah cukup mengenakan mantel, kali ini banyak yang memakai sarung tangan. Dingin memang terasa lebih menggigit. Terlebih sesekali udara cukup keras berhembus, terasa menembus tulang.



Jangan dibayangkan Gaza seperti kebanyakan wilayah Timur Tengah yang didominasi padang pasir nan tandus. Panas dan berdebu. Berkebalikannya, Gaza adalah lahan subur kehijauan dengan hasil tani melimpah ruah. Zaitun, kurma, jeruk, aprikot dan apel berbuah lebat memberi warna berbeda di tiap musimnya. Di musim dingin, hujan turun sesekali membawa butiran es. Bukan tidak mungkin, jika suhu udara ke depan semakin turun, hujan es juga akan kami alami.

Ironisnya, melimpahnya hasil pertanian tidak membuat petani bahagia. Kebanyakan produk mereka rusak karena tidak memiliki fasilitas pengolahan, atau tidak laku dijual. Hampir tidak ada pabrik pengemasan untuk pengiriman keluar Gaza. Atau lebih jelek lagi, perusahaan Israel menolak menjual hasil bumi Gaza jika tidak mau dilabeli made in Israel.

Kehidupan masyarakat Gaza menjadi sangat bergantung kepada buka-tutupnya perbatasan, orang dan juga barang. Dari 5 pintu masuk yang menghubungkan Gaza dan luar, mereka tinggal bergantung kepada perbatasan Rafah (Mesir) untuk pergi keluar. Perbatasan Erez menjadi momok karena buruknya perlakuan tentara Israel kepada warga Gaza. Sementara pintu Karem Abu Shalom hanya digunakan untuk arus barang.

Paspor adalah barang mewah bagi kebanyakan warga Gaza. Bahkan bagi yang memilikinya, terkadang tak lebih dari sekedar travel document. Paspor Palestina tidak memberikan kebebasan berpergian bagi pemegangnya, malahan mengundang 'perlakuan khusus' dari petugas imigrasi saat ditunjukkan. Banyak cerita bagaimana warga Palestina mendapat diskriminasi, intimidasi hingga pembatasan saat berpergian menggunakan paspornya.

Dengan status 60% warga Gaza adalah pengungsi (refugee) maka bantuan donor adalah vital. Di tengah pemangkasan bantuan AS kepada UNRWA (lembaga PBB yang mengurusi pengungsi Palestina), pengurangan bantuan dari Uni Eropa kepada Palestina karena isu terorisme, dan konflik internal politik, semakin menempatkan penderitaan warga Gaza ke titik terendahnya. Anehnya, bantuan yang dibutuhkan di dalam Gaza, kadang menumpuk di gudang-gudang perbatasan Yordania, Mesir atau Israel sendiri tanpa kejelasan penyaluran. Bahkan anekdotnya, bantuan yang disalurkan 'sengaja' diatur agar tidak sesuai kebutuhan dan momennya. Saat musim dingin, peralatan sekolah anak dimasukkan. Saat musim panas, pakaian dan selimut dingin disalurkan.

Hujan dan cuaca dingin memang datang di Gaza. Namun, seolah masyarakat merasakan biasa-biasa saja. Wajah-wajah ceria anak bersekolah di pagi hari dengan pipi kemerahan karena dingin. Celoteh dan teriakan mereka saat bermain di sore hari dengan baju hangat seadanya.  Suasana masjid dan azan yang mengundang jamaah untuk memenuhi shaf-shaf sholat 5 waktu.

Bayt Lahya, 28 Februari 2109
Arief Rachman