MER-C Bertemu Romo Magnis Bahas Palestina

Ketua Presidium Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) Indonesia, dr. Sarbini Abdul Murad bertemu dengan Romo Frans Magnis Suseno untuk membahas konflik Palestina - Israel, Jumat (30/10). Pertemuan ini dalam rangka Safari Kemanusiaan MER-C dengan Tokoh-Tokoh Lintas Agama untuk Palestina.


Langkah demikian sudah dilakukan MER-C sejak lama untuk mempersatukan bahwa persoalan Palestina bukan hanya masalah umat Islam, namun semua agama mempunyai kepentingan karena sisi kemanusiaannya. Menurut Sarbini, MER-C sebagai organisasi sosial untuk kemanusiaan dan perdamaian berupaya mengajak semua tokoh agama mendukung kemerdekaan Palestina karena ini panggilan konstitusi dan hutang sejarah kita dimana Palestina satu-satunya peserta Konferensi Asia Afrika tahun 1955 yang hingga saat ini belum merdeka.

Pada pertemuan yang berlangsung sekitar 30 menit tersebut, Ketua Presidium MER-C berdiskusi dan meminta pandangan serta masukan dari salah satu Tokoh Agama Katolik senior Indonesia ini tentang konflik Palestina – Israel dan upaya bersama sebagai elemen bangsa dan warga dunia untuk menyelesaikan konflik ini.

“Kita mengharapkan konflik ini bukan konflik agama, namun konflik ini bisa diselesaikan secara bersama-sama,” ujar Sarbini. “Orang ramai membahas Palestina ketika ada pengemboman di sana, namun setelah itu kita lupa. Padahal masalah konflik Palestina – Israel lebih besar dari itu dan luar biasa, sehingga perlu dukungan banyak pihak,” tambahnya.

Sarbini juga memaparkan program yang telah dilakukan MER-C untuk Palestina selama lebih dari 12 tahun terakhir, yaitu pembangunan Rumah Sakit Indonesia di Jalur Gaza yang merupakan bantuan murni dari rakyat Indonesia melalui MER-C.

Menanggapi hal ini, Romo Magnis memberikan pandangannya bahwa membantu orang-orang Palestina itu sangat terpuji karena rakyat Palestina mengalami penjajahan yang sangat serius. Ia juga sepakat dan mendukung langkah MER-C bahwa permasalahan di Palestina bukan hanya milik umat Islam karena di sana ada bermacam-macam agama.

“Saya kira membantu orang-orang Palestina itu sangat terpuji karena mereka mengalami terjajah yang sangat serius. Kalau bantuan dalam bentuk rumah sakit, tentu saya sangat mendukung itu,” ujarnya.

“Palestina itu bukan masalah Islam saja, karena orang Kristen di sana di Palestina, ada Katolik, Ortodoks, macam-macam, semua orang Arab, semua itu penduduk Palestina dan mereka sama. Saya kira itu penting sekali. Tapi tidak apa-apa kalau Islam sangat kuat mendukungnya,” tambahnya.

Namun ia mengakui bahwa situasi di Palestina pada umumnya tidak mudah, masalahnya konflik politis kemanusiaan dan etis. Ia sepakat bahwa orang Palestina baik di Tepi Barat maupun di Jalur Gaza berhak atas kebebasan penuh dan itu berarti mempunyai negara berdaulat. Permasalahan Jerusalem menurutnya lebih kompleks sedikit.

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa eksistensi Israel jangan dipersoalkan lagi. “Saya bertolak dari anggapan bahwa eksistensi Israel jangan dipersoalkan lagi. Israel itu sendiri masuk dalam eksistensi yang tentu bisa sangat diragukan, tapi sudah lama diakui oleh PBB dan oleh umumnya masyarakat dunia, jadi policy bahwa Israel harus dibubarkan, itu salah besar,” katanya.

“Saya tidak melihat hal lain daripada two-state solution. Israel tetap, Palestina West Bank tetap. Dulu termasuk Jordan, sebelum perang enam hari. Itu juga masih posisi mengapa bukan satu negara. Tapi kalau satu negara sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi itu tidak mungkin untuk Israel karena mayoritas di sana orang Arab. Israel tidak membangun negara Israel sebagai pelarian dari segala macam lalu mendapat mayoritas Arab, jadi itu tidak mungkin,” tambahnya.

Namun ia menegaskan bahwa yang membuat two-state solution itu sulit dan menurutnya itu sabotase Israel adalah pemukiman-pemukiman, dimana menurutnya ada keterlibatan Amerika Serikat. Pemukiman dimulai sekitar tahun 1971 dan sekarang ada sekitar 2,8 juta orang Palestina Arab, juga banyak Kristen di situ walau mayoritas Islam. Namun agama menurutnya tidak menjadi masalah. Kini sudah lebih dari setengah juta Yahudi dengan 1.600 rumah baru akan didirikan.

“Lalu bagaimana AS memberi semacam two-state solution, dimana lalu pemukiman itu termasuk Israel dan Israel juga menuntut sungai Jordan, lalu yang tinggal dari Palestina itu apa?” ujarnya. Ia menganalogikan hal ini membuat wilayah Palestina menjadi seperti keju Swiss, keju yang ada lubang-lubangnya. Itu tidak akan mungkin,” ujarnya.

Jadi lepas dari masalah etika, menurutnya Israel mengira bisa selamanya menindas masyarakat Arab di Tepi Barat. Tentu tidak. Ia mencontohnya apartheid di Afrika yang juga tidak bisa dipertahankan untuk selamanya.

Situasi ini diperparah lagi dengan dukungan terhadap Palestina di kalangan Arab Islam yang menurut pengamatannya semakin menipis.

“Tahun-tahun terakhir ini beberapa negara Arab yang sudah membangun hubungan diplomatic dengan Israel dan membuat situasi lebih mantap bagi Israel. Israel mengira sekarang anginnya pro, dalam hal ini Amerika Serikat selaku mendukung. Eropa tidak begitu. Kalau negara-negara Timur Tengah diam-diam mendukung Israel. Indonesia menurut pandangannya tentu tidak mau mendukung Israel, karena manfaatnya sangat sedikit dan memberi senjata bagi golongan Islam terutama yang keras untuk bereaksi.”

Romo Magnis menekankan bahwa meskipun Palestina bukan masalah Islam, tapi dalam kenyataan Islam penting di situ. “Saya lebih suka kalau Islam mainstream Indonesia yang moderat, yang pro NKRI membicarakan itu secara berani. Satu-satunya yang dulu berani itu Gusdur,” ujarnya.

Menyinggung tentang AS dan Jerusalem, Romo Magnis menyatakan ketidaksetujuannya terhadap langkah yang diambil Amerika Serikat. Sikap dan posisinya menurutnya sesuai dengan posisi resmi Vatikan terhadap masalah ini.

“Saya tidak mendukung posisi Amerika Serikat terhadap Israel karena Amerika Serikat sudah mengakui Jerusalem sebagai Ibukota Israel. Menurut saya itu tidak tepat, juga yang dilakukan Israel di Jerusalem belum lama ini sekitar setengah tahun yang lalu sehingga menyebabkan terjadinya kerusuhan. Kerusuhan itu muncul sebetulnya karena Israel mau mengosongkan beberapa rumah di suatu daerah tertentu dengan alasan dulu orang Yahudi tinggal disitu sebelum tahun 1947, dan Jerusalem sudah termasuk Israel sehingga mereka boleh kembali,” terangnya.

Terkait hal ini, ia menceritakan pengalamannya sendiri ketika ia dan keluarga terusir akibat Perang Dunia ke-2.

“Saya sendiri mengalami pengusiran juga sebagai hukuman terhadap Jerman karena Perang Dunia ke-2. Saat itu akhirnya kami ke Cekoslovakia, kami dibawa ke kamp pengungsi dsb. Tempat saya dulu diisi dengan orang-orang Polandia yang disuir dari Uni Soviet Barat waktu itu. Jadi hilang semua keluarga saya. Padahal kami keluarga bangsawan, kami punya tanah cukup banyak, itu hilang semua. Tapi Jerman sudah mengakui itu, tidak lagi menuntut,” kisahnya.

“Saya mendukung posisi Vatikan mengenai Jerusalem untuk diinternalisasikan di bawah PBB, sebab Jerusalem merupakan kota suci tiga agama,” tegasnya.

Menyinggung tentang bantuan Rumah Sakit Indonesia yang sudah dibangun rakyat Indonesia di Jalur Gaza, Palestina, Romo Magnis menyatakan dukungannya terhadap program RS Indonesia yang menurutnya sebuah langkah berani.

“Saya tentu dukung. Itu juga langkah berani karena situasi di sana memang tidak aman. Selalu bisa ada perang dan kena tembak Israel. Saya sangat kagum, tentu baik itu, mereka pasti membutuhkan itu.”

Di akhir pertemuan, Romo Magnis juga menyampaikan bahwa ia tidak akan memakai kata syalom sebelum Palestina merdeka. Kata syalom menurutnya dipakai oleh Protestan pro Israel sejak permulaan tahun 90 an. Mereka memakai itu seeksplisit sebagai dukungan kepada Israel. “Dan saya selalu bilang bahwa saya akan memakainya kalau Palestina sudah merdeka, maka baru saya akan pakai kata syalom,” ujarnya.