Sistem Manajemen Bencana (Sudut Pandang Kesehatan)

Negara Indonesia merupakan salah satu supermarket bencana di dunia. Setiap wilayah di Indonesia mempunyai potensi bencana tersendiri. Dari sudut ketahanan nasional, bencana sering menjadi lokus minoris suatu bangsa dan negara dalam menghadapi intervensi bangsa atau negara lain. Oleh karena itu, pembangunan sistem manajemen bencana di Indonesia merupakan investasi besar untuk kejayaan suatu bangsa. Negara-negara besar dan maju seperti Jepang membuat sistem penanggulangan bencana secara terstruktur di setiap wilayah (perfecture) berdasarkan potensi bencana masing-masing wilayah. Lalu bagaimana dengan Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia? Sistem manajemen bencana seperti apa yang cocok?



Bidang kesehatan merupakan pertahanan penting dan lini terdepan dalam penanggulangan bencana. Sistem Manajemen Bencana di bidang kesehatan menjadi tolok ukur dalam keberhasilan manajemen bencana di suatu negara terkait dampak mortalitas dan morbiditas. Dari sudut pandang kesehatan, sistem manajemen bencana dibedakan menjadi:

1. Sistem Manajemen Bencana Intra Hospital
2. Sistem Manajemen Bencana Extra Hospital

1. Sistem Manajemen Bencana Intra Hospital

Rumah sakit merupakan tempat yang sibuk dalam menghadapi dampak bencana. Pusat komando kesehatan berada di RS dan Dinas Kesehatan setempat. RS merupakan INDIKATOR level ketangguhan suatu wilayah dalam menghadapi bencana. Dalam akreditasi JCI (Joint Commission International) juga sudah mulai mensyaratkan suatu RS mempunyai sistem penanggulangan bencana (Hospital Disaster Plan). Menciptakan RS Tahan Bencana menjadi suatu keharusan di negara rawan bencana. Ketangguhan IGD suatu RS dalam menghadapi bencana merupakan tolok ukur suatu RS dalam ketahanan bencana. Seringkali RS terdampak bencana baik akibat gempa bumi, tsunami, dan pandemi Covid-19. Kita saksikan banyak IGD yang tutup atau RS yang kolaps pada masa pandemi. Hal tersebut diakibatkan lemahnya sistem manajemen alur pasien, sistem logistik dan sistem SDM RS tersebut. Apabila IGD atau layanan emergensi tutup sama dengan lumpuhnya RS tersebut karena tidak bisa lagi menolong orang dalam kondisi gawat darurat.

Sistem Manajemen Bencana Intra Hospital meliputi:

A. Manajemen alur pasien dan triage, mulai dari IGD, kamar operasi hingga ruang perawatan dan juga sistem rujukan ke luar RS.

B. Sistem mobilisasi sumber daya manusia, dokter, perawat dan nakes lainnya

C. Sistem pasokan dan mobilisasi logistik serta penunjang.

D. Luwesnya perubahan sistem quality control mutu pelayanan yang bisa bergeser cepat dari konsep mutu excellent ke arah konsep mitigasi dalam situasi serba terbatas.

2. Sistem Manajemen Bencana Extra Hospital

Sistem manajemen bencana extra hospital sejatinya merupakan sistem manajemen bencana komunitas atau wilayah. Ada beberapa wilayah atau kota yang menggabungkan sistem manajemen bencana di bidang kesehatan dengan bidang lainnya seperti keamanan dll berupa Call Center Emergency (ambulans, damkar, polisi, dll).  Sistem manajemen bencana extra hospital meliputi:

A. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Sistem ini memerlukan bukan hanya sistem data IT dan komunikasi tetapi juga perlu ada "Host" atau komandan berupa medical director yang memiliki kemampuan Triase Bencana (Disaster Triage). Jadi fungsi SPGDT sejatinya:
a) Menerima, memilah rujukan pasien berdasarkan derajat keparahannya lalu memilihkan RS yang sesuai levelnya.
b) Melakukan Triase Bencana (Disaster Triage) pada saat bencana.

B. Sistem Ambulans

Sistem ambulans yang dianut di suatu negara atau wilayah akan menentukan keberhasilan penanggulangan kegawatdaruratan atau bencana.  Ada beberapa macam sistem ambulans di dunia, yaitu:

a) Ambulans sebagai ranah medis: konsepnya ambulans merupakan bagian dari layanan medik, perluasan IGD (Extended Emergency Room). Sistem ini mempunyai: standar layanan medik ambulans, Surat Izin Praktik tenaga medis (SIP) yang berinduk kepada RS atau fasilitas kesehatan serta tarif pelayanan medis ambulans. Sistem ambulans seperti ini akan menciptakan safety bagi masyarakat dan memberikan layanan kesehatan yang paripurna mulai dari RS hingga sampai ke rumah. Selain itu, sistem ambulans seperti ini akan sangat membantu dalam kondisi bencana dan mass casualties karena memiliki medical director dan komandan yang akan memimpin proses triase dan rujukan. Pada sistem ini, ambulans tidak diperbolehkan dimiliki oleh selain fasilitas kesehatan seperti lembaga sosial, parpol dll.

b) Ambulans sebagai ranah sosial: konsepnya ambulans sebagai bagian dari kegiatan sosial sehingga bisa dimiliki oleh siapa saja tanpa ada standarisasi layanan medis dan petugas tidak memiliki SIP. BPJS tidak bisa menanggung pembiayaan ambulans karena bukan ranah layanan medis dan sehingga sistem ini membuat layanan medis tidak paripurna dan terputus. Pada kondisi bencana, sistem ini akan membuat ambulans bergerak sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi dan komando.

Realitas kondisi di Indonesia saat ini SPGDT tidak mempunyai sistem "host" atau medical director sehingga masih kita saksikan pasien keliling RS untuk mencari ICU serta masih kita saksikan banyak RS yang overload pada kondisi bencana yang akan mengakibatkan "secondary disasters". Sementara itu sistem ambulans di Indonesia masih berada di ranah sosial sehingga bisa menipu masyarakat yang  "merasa sudah aman" ketika berada di ambulans padahal tidak demikian adanya. Tingginya angka DOA (Death on Arrival) ketika pasien sampai di IGD merupakan indikator penting keamanan sistem ambulans.

Mari kita perbaiki bersama negeri ini.

Salam Kebencanaan dan Kemanusiaan

Dr. Yogi Prabowo, SpOT(K)
Pendiri dan Relawan MER-C